Redenominasi Saat Nilai Seribu Jadi Satu, Siapa Sebenarnya yang Diuntungkan

Redenominasi: Saat Nilai Seribu Jadi Satu, Siapa Sebenarnya yang Diuntungkan?

Indonesiandark.net | Redenominasi. Satu kata yang terdengar seperti reformasi kecil, tapi dampaknya bisa menembus psikologi seluruh bangsa.

Pemerintah kembali melempar wacana yang dulu pernah tertidur, mengubah nilai nominal uang kita dari seribu menjadi satu.

Satu gerakan kecil di atas kertas, tapi mungkin sebuah getaran besar di kepala rakyat.

Di bawah kepemimpinan Menteri Purbaya Yudhi Sadewa, istilah redenominasi rupiah mulai bergema lagi. Bukan sebagai wacana akademik, tapi sebagai kebijakan yang “sedang disiapkan”.

Angkanya jelas: Rp1.000 akan menjadi Rp1. Pemerintah menyebutnya sebagai “penyederhanaan sistem keuangan”, langkah menuju modernisasi dan efisiensi ekonomi nasional.

Namun, di balik narasi efisiensi itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam: kenapa sekarang?

Di tengah inflasi global, ketidakpastian fiskal, dan utang negara yang terus menanjak, mengapa yang dipilih justru eksperimen terhadap simbol paling sensitif dalam ekonomi uang itu sendiri?

Bagi sebagian orang, redenominasi hanyalah kosmetik. Bagi sebagian lainnya, ini adalah upaya mengubah persepsi nilai, membentuk ulang cara kita memahami harga, dan secara halus mengatur ulang psikologi ekonomi publik.

Karena di dunia ekonomi modern, persepsi sering kali lebih berbahaya daripada realitasnya sendiri.

Redenominasi Itu Apa Sebenarnya?

Secara teknis, redenominasi adalah langkah penyederhanaan nominal mata uang tanpa mengubah nilai riilnya.

Artinya, Rp1.000 hari ini akan setara dengan Rp1 baru setelah redenominasi diberlakukan.

Nilai beli tidak berubah, hanya jumlah nol di belakang angka yang dikurangi. Seolah-olah, nilai hidup kita tetap sama, hanya tampilannya yang dipoles agar terlihat lebih “modern”.

Contohnya sederhana: harga kopi yang kini Rp15.000, setelah redenominasi akan menjadi Rp15.

Gaji Rp5.000.000 akan berubah jadi Rp5.000. Semua terlihat ringan, bersih, dan ringkas.

Tapi jangan lupa, perubahan ini akan memaksa seluruh sistem ekonomi untuk beradaptasi, dari mesin kasir, aplikasi perbankan, sistem akuntansi, hingga cara masyarakat memandang uang di dompetnya.

Secara teori, redenominasi berbeda dengan sanering. Sanering memotong nilai uang dan daya belinya (seperti yang pernah dilakukan Indonesia tahun 1965), sedangkan redenominasi hanya mengubah simbol nominal.

Namun dalam praktiknya, garis pemisah itu bisa kabur, terutama jika komunikasi publik tidak jelas dan kepercayaan masyarakat rendah.

Beberapa negara sudah melakukannya antara lain seperti Turki sukses memotong enam nol pada 2005 dan memperkuat citra ekonominya.

Zimbabwe gagal total karena inflasi ekstrem membuat nilai baru kembali runtuh dalam hitungan bulan.

Hasilnya? Sama-sama redenominasi, tapi efeknya bisa berlawanan, tergantung pada stabilitas ekonomi dan kejujuran pemerintahnya.

Jadi, ketika pemerintah bilang “tidak ada yang berubah selain angka”, mungkin itu benar… di Excel.

Tapi di dunia nyata, di benak masyarakat, perubahan angka selalu berarti perubahan rasa percaya.

Dan dalam konteks ekonomi, kepercayaan adalah segalanya.

Jejak Panjang Wacana Redenominasi di Indonesia

Kalau kamu merasa dejavu membaca berita tentang redenominasi, kamu tidak salah

Isu ini bukan baru kemarin muncul, namun sudah hidup, mati, dan dihidupkan kembali seperti proyek abadi yang tak pernah benar-benar selesai.

Sekitar tahun 2010, Bank Indonesia di bawah Darmin Nasution pernah mendorong ide yang sama, yaitu menghpus tiga nol di belakang rupiah.

Rencananya, rupiah akan “dipermak’ agar lebih sederhana, lebih keren, dan tak lagi terlihat seperti mata uang negara yang kalah dari inflasi.

Tapi, seperti banyak rencana besar di negri ini, semuanya kandas di tengah jalan, terseret politik, pergantian pejabat, dan ketakutan publik terhadap kata “pemotongan”.

Sejak saat itu, redenominasi seperti mitos yang selalu muncul setiap beberapa tahun sekali.

Setiap kali ekonomi goyah, isu ini tiba-tiba dihidupkan lagi. Alasannya selalu sama, yaitu penyederhanaan, efisiensi, modernisasi,.

Namun di balik itu, ada juga aroma psikologis, seolah pemerintah ingin menulis ulang narasi ekonomi nasional tanpa benar-benar memperbaikinya.

See also  Budaya Pinjol di Indonesia Semakin Tidak Waras dan Terkendali

Kini, Menteri Purbaya Yudhi Sadewa kembali menyalakan obor lama itu. Ia berbicara tentang rencana transisi dari Rp1.000 ke Rp1, menyebutnya sebagai bagian dari upaya “meningkatkan kredibilitas rupiah di mata dunia”.

Kata “modernisasi” muncul di setiap kutipan. Tapi di sisi lain, publik masih bingung, apakah ini langkah berani, atau sekadar cara baru untuk mengubah topik pembicaraan dari masalah ekonomi yang lebih besar?

Redenominasi selalu tampak seperti ide futuristik, tapi pelaksanaannya membutuhkan sesuatu yang lebih langka dari uang yaitu kepercayaan.

Tanpa itu, perubahan nol hanyalah perubahan kosmetik di permukaan kertas yang mulai lusuh.

Alasan Pemerintah: Efisiensi, Citra, dan Modernisasi

Menurut pemerintah, redenominasi bukan sekadar proyek estetika ekonomi, ini adalah rebranding besar-besaran terhadap rupiah.

Menteri Purbaya menegaskan bahwa penyederhanaan nominal ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi transaksi, mempermudah pembukuan, dan meningkatkan kepercayaan internasional terhadap mata uang kita.

Dalam versi resmi, redenominasi adalah langkah menuju era baru ekonomi digital yang lebih rapi dan efisien.

Bayangkan kasir di minimarket tak lagi mengetik angka 15.000, cukup 15 saja. Atau sistem akuntansi perusahaan tak lagi dijejali angka nol berderet.

Di atas kertas, semuanya memang tampak logis, sebuah penyederhanaan teknis yang membuat sistem keuangan terlihat lebih modern, selevel dengan negara-negara maju.

Namun, yang menarik bukan hanya apa yang dikatakan pemerintah, tapi apa yang tidak dikatakannya.

Mereka jarang bicara tentang biaya transisi, tentang pembaruan infrastruktur perbankan, atau tentang waktu adaptasi masyarakat di lapangan.

Dan di tengah semua janji efisiensi itu, muncul pertanyaan yang mengganggu, apakah redenominasi benar-benar tentang efisiensi, atau tentang membangun ilusi stabilitas?

Citra rupiah memang butuh dipoles, terutama setelah bertahun-tahun melemah terhadap dolar.

Menghapus tiga nol bisa menciptakan efek psikologis bahwa rupiah “lebih kuat”, padahal daya belinya tetap sama.

Ini semacam optical illusion ekonomi, dimana angka kecil terasa lebih berharga, bahkan jika nilainya identik.

Jadi ketika pemerintah bilang redenominasi adalah simbol kemajuan, mungkin itu benar, tapi simbol tidak selalu berarti substansi.

Karena seperti banyak hal di negeri ini, terkadang yang diperbaiki bukan sistemnya, melainkan tampilannya.

Kelebihan yang Dijanjikan, Lebih Ringkas, Lebih Efisien, Lebih Gagah

Pemerintah tentu tak akan menjual ide sebesar redenominasi tanpa daftar panjang janji manis di belakangnya.

Dalam berbagai konferensi dan pernyataan resmi, Menteri Purbaya menyebut redenominasi sebagai “langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi dan modernisasi ekonomi nasional”.

Slogan yang terdengar elegan, seperti reformasi kecil menuju masa depan keuangan yang lebih beradab.

Secara teoritis, ada beberapa manfaat yang memang masuk akal:

  • Transaksi lebih efisien. Harga menjadi lebih sederhana, sistem kas dan akuntansi jadi lebih ringan. Tak ada lagi angka berderet nol di layar mesin kasir yang bisa bikin salah input satu digit dan berujung fatal.
  • Citra mata uang meningkat. Rupiah yang tadinya dianggap “murahan” karena banyak nol di belakangnya, kini tampak lebih setara dengan mata uang negara maju. Dari Rp100.000 menjadi Rp100, seolah memberi kesan bahwa ekonomi kita sudah naik kelas.
  • Kemudahan dalam integrasi sistem digital. Di era transaksi elektronik dan ekonomi digital, angka kecil lebih praktis. Aplikasi, sistem perbankan, dan transaksi lintas negara jadi lebih mudah diadaptasi.
  • Efek psikologis positif. Pemerintah berharap publik merasa lebih “percaya diri” dengan rupiah baru yang lebih sederhana dan modern.

Tapi di balik daftar keuntungan itu, ada satu benang merah: semuanya bersifat persepsi. Tidak ada satu pun manfaat yang langsung menambah nilai nyata atau daya beli masyarakat.

See also  Banyak Seller China Nakal, Jual Barang Impor Ilegal di Indonesia

Redenominasi bisa membuat sistem terlihat rapi, angka tampak kecil, dan uang tampak kuat, tapi semua itu hanya kesan visual.

Dan dalam ekonomi, persepsi memang penting… tapi persepsi tanpa substansi adalah propaganda yang dibungkus rapi.

Kekurangan yang Disembunyikan: Biaya, Kebingungan, dan Risiko Sosial

Di balik narasi efisiensi dan modernisasi, redenominasi menyimpan daftar risiko yang lebih panjang daripada manfaatnya.

Beberapa di antaranya bahkan tak pernah disebutkan secara terbuka oleh pemerintah, seolah bukan bagian dari cerita yang pantas dibicarakan di depan kamera.

Pertama, biaya transisi. Mencetak uang baru, mengganti sistem perbankan, menyesuaikan perangkat lunak, mengganti label harga di seluruh negeri, semua itu bukan hal kecil.

Anggarannya bisa mencapai triliunan rupiah, dan siapa yang akan menanggungnya? Tentu saja, rakyat, lewat pajak, lewat inflasi, lewat “penyesuaian harga” yang akan terjadi diam-diam.

Kedua, kebingungan publik. Di negara dengan literasi finansial yang belum merata, perubahan nominal bisa menciptakan kekacauan persepsi.

Bayangkan masyarakat kecil yang melihat harga nasi goreng turun dari Rp15.000 jadi Rp15, sebagian mungkin merasa lega, sebagian lagi bingung, sebagian lain malah curiga bahwa “uangnya dikecilkan”.

Kebingungan itu bisa dimanfaatkan oleh oknum penjual nakal, pelaku keuangan, bahkan pihak yang ingin memancing kepanikan.

Ketiga, risiko sosial dan psikologis. Redenominasi bukan hanya soal angka, tapi soal kepercayaan terhadap pemerintah dan nilai mata uang.

Sekali publik merasa uangnya “dikurangi”, kepercayaan itu bisa runtuh. Dan kepercayaan, sekali hancur, tak bisa dicetak ulang seperti lembaran rupiah baru.

Terakhir, ada risiko waktu yang salah. Melakukan redenominasi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil bisa berujung bencana.

Turki bisa sukses karena mereka melakukannya setelah inflasi terkendali. Zimbabwe gagal karena mereka melakukannya di tengah kekacauan.

Indonesia? Masih belum jelas apakah kita benar-benar siap, atau sekadar ingin terlihat siap.

Dan mungkin, di sanalah letak masalah paling besar dari redenominasi ini. Ia bukan semata-mata kebijakan ekonomi, tapi juga pertunjukan politik kepercayaan.

Kita diminta percaya bahwa nilai tidak berubah, padahal yang berubah bukan hanya angka, tapi cara kita memahami realitas ekonomi itu sendiri.

Siapa Sebenarnya yang Diuntungkan?

Pertanyaan yang seharusnya menjadi inti dari seluruh wacana ini bukanlah “bagaimana redenominasi dilakukan”, tapi siapa yang akan diuntungkan ketika nilai seribu menjadi satu.

Pemerintah mengatakan, masyarakat akan diuntungkan karena transaksi lebih mudah. Bank Indonesia menegaskan, daya beli rakyat tidak akan berubah.

Dan media arus utama mengulang narasi itu seperti kaset yang tak bisa diganti, ni hanya penyederhanaan nominal, tidak mengubah nilai.

Namun di balik narasi yang menenangkan itu, ada dinamika yang lebih kompleks. Bagi pemerintah, redenominasi bisa menjadi alat kosmetik fiskal.

Dengan menghapus tiga nol, rasio angka-angka di laporan keuangan negara, seperti utang, PDB, belanja, akan tampak lebih kecil dan “bersih”.

Bagi investor asing, tampilan angka yang sederhana bisa memberi kesan bahwa Indonesia lebih stabil, meski substansinya sama saja.

Dan bagi perbankan, transisi ini bisa membuka peluang bisnis baru, dari sistem konversi, jasa konsultasi, hingga infrastruktur digital yang harus diperbarui.

Sementara itu, rakyat biasa? Mereka akan menjadi penonton utama di eksperimen besar ini.

Tidak merugi secara langsung, tapi juga tidak benar-benar diuntungkan. Yang berubah hanyalah cara mereka membaca angka di dompet, bukan jumlah beras yang bisa dibeli darinya.

Dalam konteks ekonomi politik, redenominasi sering kali digunakan untuk mengatur ulang persepsi kolektif terhadap nilai.

Ketika angka mengecil, orang merasa ekonomi membaik. Ketika mata uang terlihat “kuat”, rasa percaya meningkat, walau daya beli diam di tempat.

See also  Anggaran MBG Membengkak dan Rakyat Diminta Tetap Percaya

Ini bukan teori konspirasi, ini strategi komunikasi ekonomi yang telah lama dipakai oleh banyak negara untuk menenangkan pasar.

Maka, mungkin jawaban paling jujur atas pertanyaan “siapa yang diuntungkan” adalah: mereka yang ingin terlihat berhasil, bukan mereka yang hidup dari angka-angka itu setiap hari.

Pelajaran dari Negara Lain: Turki, Rusia, dan Korea Selatan

Redenominasi bukan hal baru di dunia. Banyak negara sudah melakukannya, sebagian sukses, sebagian gagal, dan sebagian malah hancur total.

Dan dari mereka, kita bisa belajar satu hal, menghapus nol tidak pernah sesederhana menekan tombol delete.

1. Negara Turki

Pada tahun 2005, mereka memotong enam nol dari mata uang lamanya, menjadikan satu juta lira lama setara dengan satu lira baru.

Langkah itu sukses besar, tapi hanya karena dilakukan setelah inflasi turun drastis dan stabilitas ekonomi terjaga.

Turki tidak sedang menambal krisis, mereka menyelesaikannya dulu, baru mengganti kulitnya.

2. Negara Rusia

Rusia juga pernah melakukannya. Setelah runtuhnya Uni Soviet, rubel mengalami redenominasi beberapa kali.

Hasilnya campur aduk. di satu sisi, citra rubel membaik, tapi di sisi lain masyarakat kehilangan kepercayaan karena nilai mata uang terus berganti wajah tanpa arah jelas.

Mereka belajar bahwa tanpa kestabilan politik, setiap upaya mempercantik mata uang hanya memperburuk luka lama.

3. Negara Korea Selatan

Sementara Korea Selatan masih memegang wacana redenominasi tanpa pernah benar-benar melakukannya.

Bank of Korea sudah mempersiapkan rencana sejak 2009, tapi mereka tahu waktunya belum tepat.

Ekonomi mereka kuat, tapi mereka sadar: kepercayaan publik adalah modal paling mahal. Salah langkah sedikit, dan ekonomi bisa goyah hanya karena angka yang berubah.

Indonesia kini berada di persimpangan yang sama. Kita ingin rupiah terlihat modern, tapi kita juga masih bergulat dengan ketimpangan, defisit, dan inflasi yang sensitif.

Jika redenominasi dilakukan dalam kondisi seperti ini, kita lebih dekat pada risiko Rusia daripada keberhasilan Turki.

Karena pada akhirnya, redenominasi bukan hanya tentang ekonomi, tapi tentang kesiapan moral dan psikologis sebuah bangsa untuk percaya lagi pada angkanya sendiri.

Dan kepercayaan itu, tidak bisa dicetak, tidak bisa diumumkan lewat konferensi pers, tidak bisa diatur lewat peraturan menteri.

Ia tumbuh dari kejujuran, dan itulah hal yang paling sulit ditemukan di antara ribuan nol yang ingin dihapus.

Antara Simbol dan Realitas

Redenominasi sering kali dipasarkan sebagai simbol kebangkitan ekonomi. Katanya: “Kita siap. Kita sudah stabil. Saatnya rupiah naik kelas.”

Tapi simbol tidak selalu berarti substansi. Menghapus nol dari uang tidak sama dengan menghapus masalah dari sistem.

Kita hidup di era di mana persepsi lebih penting dari kenyataan. Angka-angka ekonomi diinfografiskan dengan warna cerah, tapi di pasar, harga beras masih naik tanpa pamit.

Laporan keuangan pemerintah bisa tampak efisien setelah “disederhanakan”, tapi daya beli pekerja tetap stagnan di bawah garis logika.

Redenominasi adalah permainan simbol, sebuah upaya untuk membuat publik merasa bahwa sesuatu sedang membaik.

Dan seperti semua simbol, nilainya hanya bertahan selama orang masih percaya padanya. Begitu kepercayaan hilang, angka sekecil apa pun tidak akan menyelamatkan.

Satu rupiah bisa terasa lebih berat dari seribu, tapi juga bisa hilang begitu saja di udara, tergantung siapa yang memegang kendali atas narasi.

Kita boleh saja menghapus tiga nol dari uang kertas, tapi bisakah kita juga menghapus tiga dekade ketimpangan, korupsi, dan manipulasi persepsi?

Atau jangan-jangan, redenominasi hanyalah cara paling sopan untuk mengalihkan pandangan rakyat dari luka yang belum sembuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ghasali Muhammad Elba Indonesiandark.net

Ghasali Muhammad Elba

Seorang penulis yang bermimpi untuk menciptakan kebebasan jurnalistik di media internet dengan membagikan wawasan liar yang murni didatangkan dari pemikiran manusia.