Perusahaan Tanpa HR dan Dilema di Balik Efisiensi Kerja

Perusahaan Tanpa HR dan Dilema di Balik Efisiensi Kerja

Indonesiandark.net | Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena baru di banyak perusahaan kecil hingga menengah: Perusahaan Tanpa HR.

Sebuah konsep yang di atas kertas terlihat efisien, ramping, dan modern, seolah perusahaan bisa berjalan hanya dengan logika angka dan spreadsheet.

Divisi yang selama ini dianggap “mengurus manusia” secara pelan-pelan digeser, dilebur, atau bahkan dihapus.

Alasannya sederhana namun terdengar dingin, biaya operasional harus ditekan, proses harus lebih cepat, dan semua keputusan harus bisa dinilai dengan angka.

Namun di balik jargon efisiensi itu, ada dilema yang jarang dibicarakan. Ketika fungsi HR hilang, pertanyaan besar muncul “siapa yang sebenarnya mengurus manusia di sebuah perusahaan?”.

Dalam banyak kasus, jawabannya adalah “Finance”. Departemen yang tugas utamanya menghitung uang kini dipaksa menangani urusan karyawan, mulai dari rekrutmen, komplain, hingga konflik internal.

Di sinilah sisi gelapnya mulai tampak. Kita sedang masuk ke dunia kerja yang memandang manusia sebagai cost center, bukan lagi individu dengan emosi, masalah, dan kebutuhan dasar.

Sebuah dunia yang tampaknya efisien, tapi merampas ruang aman bagi karyawan untuk sekadar didengar.

Mengapa Fungsi HR Sering Dilebur ke Departemen Finance

Mengapa Fungsi HR Sering Dilebur ke Departemen Finance

Ketika sebuah perusahaan memutuskan untuk menjadi Perusahaan Tanpa HR, langkah berikutnya hampir selalu sama yaitu fungsi SDM dialihkan ke departemen Finance.

Bukan karena Finance lebih memahami manusia, tetapi karena perusahaan percaya bahwa segala sesuatu bisa dipetakan melalui angka.

Pertama, alasan klasiknya adalah efisiensi biaya. Pemilik bisnis melihat HR sebagai divisi yang tidak menghasilkan profit langsung. Payroll bisa dihitung Finance, absensi bisa dimonitor software, dan rekrutmen bisa diambil alih oleh manajer operasional.

Maka dalam logika mereka, menghapus HR sama saja dengan memotong biaya bulanan tanpa mengganggu operasional.

Kedua, ada anggapan yang mulai mengakar bahwa HR hanyalah urusan administratif. Input data, tanda tangan kontrak, dokumentasi karyawan, semua itu dianggap pekerjaan yang tidak cukup penting untuk memiliki departemen sendiri. Padahal, HR modern jauh lebih strategis daripada sekadar dokumentasi.

See also  Kenapa mall mall di Jakarta banyak yang sepi?

Ketiga, dorongan digitalisasi juga ikut memperkuat keputusan ini. Tools HR sekarang sangat otomatis, sehingga perusahaan mulai merasa fungsi manusia dalam HR tidak lagi krusial.

Yang lupa disadari adalah, software bisa mencatat data, tetapi tidak bisa menangani konflik antar manusia.

Dan keempat, perusahaan ingin kontrol yang lebih ketat terhadap biaya tenaga kerja.

Dengan menempatkan HR di bawah Finance, semua keputusan yang berkaitan dengan karyawan otomatis harus melewati kacamata anggaran. Logikanya sederhana, kalau biaya bisa dipangkas, maka harus dipangkas.

Di permukaan, keputusan ini tampak masuk akal. Namun ketika manusia dikelola oleh departemen yang hidup dari angka, bukan empati, saat itulah muncul dilema yang akan mengalir ke seluruh budaya kerja perusahaan.

Bagaimana Finance Menangani Peran HR

Bagaimana Finance Menangani Peran HR

Ketika sebuah perusahaan memutuskan menjadi Perusahaan Tanpa HR, beban itu jatuh langsung ke meja Finance.

Divisi yang selama ini terbiasa mengelola angka tiba-tiba harus mengelola manusia. Dan di sinilah ketimpangan mulai terasa.

Finance bekerja dengan logika yang tegas, angka tidak bohong, angka tidak drama. Mereka terbiasa dengan kepastian, akurasi, dan batasan yang jelas. Sayangnya, manusia bukan spreadsheet.

Karyawan datang dengan perasaan, masalah keluarga, burnout, konflik personal, dan mimpi-mimpi yang tidak bisa dihitung dengan rumus akuntansi.

Dalam praktiknya, beginilah biasanya Finance menjalankan fungsi HR:

1. Rekrutmen menjadi hitungan biaya, bukan kecocokan.

Daripada mencari kandidat yang benar-benar sesuai nilai perusahaan, Finance cenderung mencari yang paling murah. Yang penting gaji sesuai budget, soal kualitas nanti dipikirkan belakangan. Padahal rekrutmen bukan sekadar memilih angka di kolom salary.

2. Evaluasi kinerja hanya dilihat dari cost dan output.

Setiap karyawan diukur seperti aset, atau lebih tepatnya, seperti pengeluaran. Jika kontribusinya tidak terlihat secara langsung dalam angka, maka dianggap tidak efisien. Ruang untuk pengembangan manusia perlahan menghilang.

3. Payroll dan absensi menjadi titik fokus.

Karena ini area yang paling familiar bagi Finance, akhirnya seluruh pengelolaan SDM dipersempit menjadi dua hal yaitu gaji dan kehadiran. Karyawan yang mengalami masalah personal dianggap tidak relevan jika tidak mempengaruhi cost.

4. Pendekatan soft-skill nyaris tidak ada.

Tidak ada sesi coaching, tidak ada mediasi konflik, tidak ada percakapan mendalam tentang kesejahteraan karyawan. Semua berubah menjadi sistem otomatis yang menekan tombol: hadir atau tidak hadir, layak atau tidak layak.

Dalam dunia seperti itu, karyawan kehilangan ruang manusiawinya. Yang tersisa hanya angka yang harus dijaga tetap stabil.

Keuntungan Jika HR Dijalankan oleh Finance

Keuntungan Jika HR Dijalankan oleh Finance

Meski tampak keras dan kurang manusiawi, tidak bisa dipungkiri bahwa model Perusahaan Tanpa HR yang menyerahkan kendali pada Finance memang memiliki beberapa keuntungan, terutama untuk perusahaan yang sedang berusaha bertahan hidup.

1. Proses menjadi lebih cepat dan tidak berbelit.

Tidak ada lapisan organisasi yang panjang. Semua keputusan mengenai karyawan diputuskan oleh satu departemen yang sama yaitu yang memahami alur budget. Permintaan kenaikan gaji, rekrutmen, hingga lembur bisa diputuskan dalam sekali evaluasi.

2. Pengendalian anggaran menjadi jauh lebih ketat.

Finance sangat disiplin pada angka. Mereka tahu di mana biaya naik, kenapa naik, dan bagaimana menekannya. Tidak ada ruang untuk pemborosan, tidak ada keputusan emosional. Dari sisi finansial, ini adalah keuntungan besar.

See also  Likuidasi Barang Solusi Praktis Jual Stok Berlebih

3. Perusahaan lebih mudah menjaga stabilitas cashflow.

Dengan mengontrol seluruh aspek yang berkaitan dengan biaya karyawan, Finance memastikan tidak ada pembayaran yang melampaui batas. Semua serba terkendali.

4. Semua keputusan didasarkan pada data.

Dalam banyak perusahaan, HR sering dituduh membuat keputusan berdasarkan perasaan. Ketika Finance mengambil alih, semuanya berubah menjadi objektif, setidaknya menurut ukuran angka.

Dan bagi pemilik bisnis yang terlalu sering terbakar oleh pengeluaran “tidak terlihat,” model ini terasa seperti solusi cepat yang efektif. Efisien, rapi, mudah dipantau.

Namun di balik keuntungan tersebut, ada harga yang tidak selalu terlihat di awal, yaitu hilangnya penghargaan terhadap manusia sebagai manusia.

Sebuah konsekuensi yang akan mulai terasa ketika budaya kerja berubah menjadi semakin kaku, dingin, dan mekanis.

Dampak Negatif yang Muncul Ketika Finance Menggantikan HR

Dampak Negatif yang Muncul Ketika Finance Menggantikan HR

Di balik efisiensi yang sering dibanggakan, ada sisi gelap yang jarang ingin diakui perusahaan.

Ketika sebuah perusahaan memutuskan menjadi Perusahaan Tanpa HR, lalu menyerahkan seluruh urusan manusia kepada departemen Finance, maka arah manajemen berubah total.

Ukuran kemanusiaan dilebur ke dalam angka, dan angka tidak pernah peduli pada perasaan. Beginilah dampak negatif yang paling sering muncul:

1. Pengambilan keputusan menjadi dingin dan mekanis.

Finance terbiasa memotong biaya tanpa banyak kompromi. Ketika ada masalah karyawan, mereka melihatnya sebagai beban finansial yang harus diselesaikan secepat mungkin. Tidak ada pendekatan empati, tidak ada pendampingan. Yang ada hanya kalkulasi.

2. Karyawan hanya diperlakukan sebagai aset yang bisa diganti.

Jika kontribusi karyawan tidak langsung terlihat dalam angka, maka ia dianggap tidak efisien. Dalam sistem seperti ini, loyalitas tidak dihargai, pengalaman tidak dihitung, dan manusia tidak dilihat sebagai bagian dari ekosistem kerja, melainkan biaya.

3. Konflik internal dibiarkan membusuk.

Tanpa HR yang memahami dinamika antarmanusia, konflik antara karyawan, antar divisi, hingga konflik dengan manajemen cenderung diabaikan. Finance tidak mengambil posisi mediator, karena itu bukan “fungsi finansial.” Konflik yang seharusnya ditangani dengan sensitif malah dibiarkan hingga menurunkan produktivitas.

4. Kasus sensitif tidak ditangani secara manusiawi.

Pelecehan, bullying, manipulasi jabatan, semua isu serius ini membutuhkan pendengar yang netral dan terlatih. Finance tidak didesain untuk itu. Mereka menghitung angka, bukan menangani trauma.

5. Moral karyawan merosot perlahan.

Ketika manusia merasa tidak dilihat sebagai manusia, semangat kerja perlahan padam. Karyawan datang hanya untuk menerima gaji, bukan untuk berkembang.

Perusahaan yang hanya memikirkan efisiensi akhirnya menciptakan budaya kerja yang dingin, tanpa arah, dan tanpa empati.

Inilah harga yang harus dibayar oleh Perusahaan Tanpa HR, efisiensi jangka pendek yang menggerogoti masa depan perusahaan itu sendiri.

Dilema Etika dalam Model HR yang Dipegang Finance

Dilema Etika dalam Model HR yang Dipegang Finance

Lebih dalam dari sekadar masalah operasional, keputusan mengalihkan fungsi HR ke Finance menciptakan dilema etika yang merayap di sepanjang kultur perusahaan.

Ketika manusia dikelola oleh divisi yang tidak dirancang untuk memahami manusia, batas antara efisiensi dan ketidakadilan menjadi kabur.

See also  Serba-Serbi Bazar Diskonmax, Bazar Cuci Gudang Termurah!!!

1. Apakah efisiensi boleh mengorbankan kebutuhan dasar karyawan?

Inilah pertanyaan terbesar. Mengurangi biaya bukan berarti mengurangi hak. Namun dalam banyak Perusahaan Tanpa HR, keputusan biaya sering menang melawan kebutuhan manusia.

Karyawan yang sedang mengalami masalah personal dianggap “tidak produktif,” padahal mereka membutuhkan ruang untuk dipahami.

2. Penghapusan ruang aman bagi karyawan untuk mengadu.

Tanpa HR, tidak ada tempat netral untuk melaporkan ketidakadilan. Finance bukan tempat untuk curhat. Mereka bukan mediator, dan mereka tidak mewakili kepentingan manusia. Akibatnya, banyak kasus penting tenggelam tanpa penyelesaian.

3. Diskriminasi bisa terjadi tanpa filter.

HR seharusnya memastikan proses rekrutmen dan penilaian kinerja berjalan adil. Tapi ketika semuanya diukur dengan angka, diskriminasi berbasis usia, gender, status pernikahan, atau latar belakang pendidikan mudah sekali terjadi. Tidak ada pihak yang benar-benar memantau keadilan.

4. Perusahaan menjadi mesin dingin yang hanya menghitung biaya.

Dalam model ini, moral, emosi, kesejahteraan, dan kesehatan mental dianggap “gangguan operasional.” Manusia berubah menjadi nomor. Keadilan berubah menjadi grafik.

Dilema ini adalah gambaran bahwa ketika sebuah perusahaan memilih jalan Perusahaan Tanpa HR, mereka bukan hanya mengubah struktur organisasi, mereka sedang mengubah identitas moral perusahaan itu sendiri.

Konsekuensi Jangka Panjang bagi Perusahaan

Konsekuensi Jangka Panjang bagi Perusahaan

Di awal, keputusan menjadi Perusahaan Tanpa HR mungkin terlihat cerdas. Proses cepat, biaya turun, dan semuanya terasa terkendali.

Tapi waktu selalu membuka tabir yang tidak terlihat di awal, konsekuensi jangka panjang yang jauh lebih mahal daripada sekadar gaji staf HR.

1. Turnover meningkat dan perusahaan kehilangan stabilitas.

Ketika karyawan merasa tidak punya tempat aman untuk bersuara, tidak ada yang menjaga keadilan, dan semua keputusan berbasis angka, mereka hanya bertahan sampai menemukan tempat yang lebih manusiawi.

Turnover ini bukan hanya menghabiskan tenaga, tapi juga menghancurkan kontinuitas kerja yang dibangun bertahun-tahun.

2. Reputasi perusahaan jatuh di mata pekerja.

Di era media sosial dan platform review tempat kerja, reputasi buruk menyebar cepat. Perusahaan yang dikenal dingin dan tidak peduli pada karyawannya akan ditinggalkan oleh talenta terbaik. Bahkan pelamar potensial mulai menolak tawaran kerja bahkan sebelum interview.

3. Budaya kerja menjadi kaku dan tidak sehat.

Tanpa HR yang mengelola nilai-nilai perusahaan, kultur internal berubah menjadi hutan tanpa kompas. Tidak ada arahan tentang bagaimana bersikap, bagaimana menyelesaikan konflik, atau bagaimana berkembang. Yang tersisa hanya tekanan, target, dan rasa takut salah.

4. Biaya tak terlihat justru menggerus efisiensi.

Ironisnya, efisiensi yang diimpikan sering berubah menjadi beban. Konflik yang tidak terselesaikan, karyawan burnout, proses rekrutmen yang salah arah, hingga penurunan kualitas kerja membuat biaya “tak terlihat” justru meledak. Perusahaan menghemat 1 posisi HR, tapi kehilangan produktivitas dari 30 karyawan.

5. Talenta berkualitas enggan bertahan.

Karyawan hebat tidak hanya mencari gaji. Mereka mencari lingkungan yang manusiawi. Tanpa itu, perusahaan hanya akan menarik orang yang “ya sudah lah,” bukan yang punya potensi membawa perusahaan naik level.

Semua ini adalah bukti bahwa keputusan menjadi Perusahaan Tanpa HR bukan sekadar strategi efisiensi, tapi taruhan besar yang bisa membentuk masa depan perusahaan, baik atau buruk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ghasali Muhammad Elba Indonesiandark.net

Ghasali Muhammad Elba

Seorang penulis yang bermimpi untuk menciptakan kebebasan jurnalistik di media internet dengan membagikan wawasan liar yang murni didatangkan dari pemikiran manusia.